PEMBAHASAN
A.
Pengertian HAM
HAM
adalah suatu yang melekat pada manusia, yang tanpanya manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia, sifatnya tidak
dapat dihilangkan atau dikurangi oleh siapapun.
Berikut
ini pengertian HAM menurut beberapa ahli:
1.
Prof. Dr. Darji Darmodiharjo, SH.
HAM adalah hak-hak
dasar/pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha
Esa.
2.
Laboratorium Pancasila IKIP Malang
HAM adalah hak yang melekat
pada martabat manusia sebagai insan
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
3.
Prof. Mr. Kuntjono Purbo Pranoto
HAM adalah hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya yang tidak dipisahkan hakikatnya.
4.
Locke
HAM adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat
kodrati.
Selain itu hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan
anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Sejarah HAM dimulai ketika diterimanya Universal Declaration of Human Rights
oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-bangsa. Dalam
proses ini telah lahir beberapa naskah yang secara berangsur-angsur menetapkan
bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat
universal dan azasi. Naskah tersebut adalah sebagai berikut :
·
Magna Charta atau
Piagam Agung yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari
Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka yang
sekaligus membatasi kekuasaan Raja John.
·
Bill of Rights, suatu
undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun
sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II, dalam suatu revolusi
tak berdarah.
·
Declaration des droits de l’homme et du citoyen, suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Perancis
sebagai perlawanan terhadap kesewenangan dari rezim lama.
·
Bill of Rights, suatu
naskah yang disusun oleh rakyat Amerika dalam tahun 1789.
Salah satu hak asasi manusia itu
adalah hak sipil dan hak politik. Adapun definisi hak sipil dan politik yaitu:
Hak-hak sipil dan politik adalah
hak yang bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin
dan dihormati keberadaannya oleh negara agar menusia bebas menikmati hak-hak
dan kebebasannya dalam bidang sipil dan politik.
Adapun yang berkewajiban untuk melindungi
hak-hak sipil dan politik warga negara sesuai dengan Pasal 8 Undang-undang No.
39 tahun 1999 ditegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan
hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
Karakteristik hak-hak sipil dan
politik:
1.
Dicapai dengan segera
2.
Negara bersifat pasif
3.
Dapat diajukan ke pengadilan
4.
Tidak bergantung pada sumber daya
5. Non-ideologis
Di dalam perlindungan hak-hak sipil
dan politik, peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil dan politik
tergolong ke dalam negative right,
yaitu hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan terpenuhi apabila
peran negara dibatasi. Bila negara bersifat intervensionis,
maka tidak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur d idalamnya akan
dilanggar negara.
Hak-hak yang termasuk ke dalam
hak-hak sipil dan politik:
1.
Hak hidup
2.
Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
3.
Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa
4.
Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
5.
Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah
6.
Hak atas pengkaun dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
7.
Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama
8.
Hak untuk bebas
berpendapat dan berekspresi
9.
Hak untuk berkumpul dan
berserikat
10. Hak
untuk turut serta dalam pemerintahan
Instrumen HAM yang mengatur
hak-hak sipil dan politik:
1.
UUD 1945 (Pasal 28 A, 28 B (ayat 1, 2), 28 D (ayat 1, 3, 4), 28 E (ayat
1, 2, 3), 28 f, 28 G (ayat 1, 2), 28 I (ayat 1))
2.
Ketetapan MPR Nomor
XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia
3.
Undang-undang Nomor 7
Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita
4.
Undang-undang Nomor 5
tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia
5.
Undang-undang Nomor 29
Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial
6.
UU Nomor 39 Tahun 1999
Tentang HAM (Pasal 9, Pasal
35)
7.
UU No. 12 Tahun
2005 Tentang Pengesahaan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
8.
Keputusan Presiden No.
36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak
9.
Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia PBB
Hal-hal yang dilakukan Indonesia
dalam menjamin dan melindungi hak-hak sipil dan politik warga negara, antara
lain:
1.
Indonesia telah
meratifikasi sejumlah instrumen hak asasi manusia yang terkait hak-hak sipil
dan politik
2.
Mengamandemenkan
Undang-Undang
Dasar 1945 dengan memasukan BAB yang mengatur HAM tersendiri
3.
Harmonisasi berbagai
Peraturan Perundang-undangan
4.
Melakukan Deseminisasi
dan Sosialisasi di seluruh wilayah Republik Indonesia terkait dengan Hak-hak
Sipil dan Politik
5.
Pembentukan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Perlindungan anak dan Komisi
Nasional Perempuan
6.
Pembentukan Kementerian
Negaran Urusan HAM yang menangani masalah HAM yang kemudian di gabung dengan
Departemen Kehakiman dan HAM yang sekarang berubah menjadi Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia
7.
Mengadili para pelaku
pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Pengadilan HAM Ad Hoc
8. Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009 yang berisi tentang pedoman
kerja mengenai langkah-langkah yang akan disusun secara berencana dan terpadu
pada tingkat nasional dalam rangka mewujudkan penegakan dan perlindungan Hak
Asasi Manusia
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa HAM
merupakan hak paling individu dan suatu pelaksanaan umum yang baku bagi semua
bangsa dan negara dan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi yang dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan oang demi kehormatan setra perlindungan harkat dan
martabat manusia.
B.
Pengertian
Politik
Kata politik itu berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” dimana artinya adalah negara
kota, dan dari kata polis tersebut bisa didapatkan beberapa kata,
diantaranya :
1.
polities => warga negara
2.
politikos =>
kewarganegaraan
3.
politike
episteme => ilmu politik
4.
politicia =>
pemerintahan negara
Jadi jika kita tinjau dari asal kata tersebut
pengertian politik secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah kegiatan dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan dari
sistem tersebut dan bagaimana melaksanakan tujuannya.
Namun banyak versi dari pengertian politik tersebut, diantaranya :
1.
Politik adalah seni dan ilmu untuk
meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
2.
Politik adalah bermacam-macam
kegiatan dari suatu sistem politik (negara) yang menyangkut
proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem indonesia dan melaksanakan tujuan-tujuan
itu (Mirriam Budiharjo)
3.
Politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan/teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan atau
masalah-masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan/pembentukan dan penggunaan
kekuasaan (Isjwara)
4.
Politik adalah pelembagaan dari
hubungan antar manusia yang
dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik baik suprastruktur politik dan
infrastruktur politik (Sri Sumantri)
5.
Politik adalah usaha yang ditempuh
warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Aristoteles)
6.
Politik adalah hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
7.
Politik merupakan
kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di
masyarakat.
8.
Politik adalah segala
sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Melihat banyak versi pengertian politik tersebut, maka
sebenarnya bisa disimpulkan secara singkat bahwa politik adalah siasat/cara atau
taktik untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
C.
Hubungan HAM dan Politik
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dijelaskan
bahwa negara Indonesia yang dicita-citakan dan hendak dibangun adalah negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi. HAM adalah
salah satu tiang yang sangat penting untuk menopang terbangun tegaknya sebuah
negara demokrasi.
Sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945
yang mengamanatkan hendak dibangunnya negara demokrasi tersebut, maka UUD 1945
mengimplementasikan ke dalam pasal-pasalnya tentang hak-hak asasi manusia.
Bangsa Indonesia sejak awal mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk
menjunjung tinggi HAM, oleh karena itu bangsa Indonesia selalu berusaha untuk
menegakkannya sejalan dan selaras dengan falsafah bangsa Pancasila dan
perkembangan atau dinamika jamannya.
Bicara sistem politik pada intinya bicara pilihan
sistem politik. Sistem politik diktator/otoriter/sentralistis/absolutisme atau
sistem politik demokratis/polpulis/kerakyatan, walaupun dalam praktiknya
terdapat varian antara kedua sistem tersebut. Dalam kedua sistem tersebut
sistem politik mempunyai hubungan timbal balik dengan hukum serta berdampak
langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM.
Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan
berwatak represif, mempertahankan status quo,
mempertahankan kepentingan penguasa. HAM tidak pernah mendapat prioritas.
Pemerintahan diktator memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, aparat dan
pejabat negara di bawah kontrol/kendali penguasa.
Dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang
dihasilkan bersifat responsif, akomodatif. Substansi hukum yang tertuang di
dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegakan hukum. Dalam sistem
tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini publik lewat wakil-wakilnya,
juga media massa, agamawan, cendikiawan dan LSM dengan pemerintah. Dengan
demikian, sistem hukumnya ditandai dengan konsep impartiality, consistency, opennessm predictability dan stability. Semua warga negara mempunyai
kedudukan sama di depan hukum (equality
before the law). Ciri ini yang disebut dengan rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau
hanya menekankan pada prosedur melupakan substansi demokrasi. Substansi
demokrasi yaitu mewujudkan kehendak rakyat, yang dibuktikan dari perjuangan
wakil-wakilnya di DPR.
D.
Kasus
Pelanggaran HAM yang Bermuatan Politik di Indonesia
1.
Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga
terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi trisakti dimana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak
dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan
perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga
Indonesia keturunan Tionghoa.
Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami
pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa
beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan
tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis
relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih
seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena
aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam kerusuhan
ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota
tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik
pribumi" atau "Pro-reformasi". Peristiwa ini mirip dengan Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal
penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan
massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia
belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap
provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan
berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama
sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti
konkret tentang pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi
ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang
setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia,
sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan
tindakan pembasmian terhadap orang Tionghoa.
Pengusutan dan penyelidikan:
Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang
dikenal dengan "Laporan TGPF".
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan,
dan pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang
berdasar penampilannya diduga berlatarbelakang militer. Sebagian pihak
berspekulasi bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan
aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini.
Pada 2004 Komnas HAM
mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun
sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari
Kejaksaan Agung.
Penuntutan Amandemen KUHP:
Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi
Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta
supaya dilakukan amandemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut
Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi
alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998,
bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat
itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998), disiksa alat kelaminnya dengan
benda tajam, anal, dan oral. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur
dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.
2.
Kasus mantan Gubernur di Timor-Timur
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim,
yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan
dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja
meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut
benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk
mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu
dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat
disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini:
a.
Vonis hakim
terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No
26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa
pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan
menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama
dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan
vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares. Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim
ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila
terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal
10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala
tuduhan.
b.
Publik dapat
merasakan suatu perlakuan "diskriminatif'' dengan keputusan terhadap
terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat
Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu
justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa
kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang
mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang
mengakibatkan sekitar 1.000 tewas. Horta mengatakan, "Bagi saya bukan fair
atau tidaknya keputusan tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang
akan membayar semua dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia.