REORIENTASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Anakciremai
By -
0
REORIENTASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Ketika tayangan kekerasan pelajar muncul di salah satu stasiun televisi, isteri saya yang kebetulan menonton tayangan tersebut spontan mengatakan:” Apa mereka sudah tidak belajar lagi agama di sekolah ?” Saya sempat kaget dengan ucapan spontan isteri saya itu. Jangan-jangan isteri saya juga tidak sadar kalau suaminya juga seorang guru agama. Itulah kenyataannya setiap kali terjadi perilaku menyimpang di kalangan pelajar, maka yang pertama kali disalahkan adalah guru mata pelajaran agama.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan pendidikan agama kita ? Betulkah telah gagal membentuk peserta didik yang berakhlak baik ? Berbicara mengenai kegagalan dalam membentuk peserta didik yang berakhlak baik, memang tidak akan terlepas dari berbicara pendidikan agama. Kekurangberhasilan pendidikan agama menurut Husni Rahim disebabkan karena : isi pendidikan agama yang ada terlalu akademis, terlalu banyak topik, banyak pengulangan yang tidak perlu. Akhlak dalam arti perilaku hampir tidak diperhatikan, kecuali yang bersifat kognitif dan hapalan. Pendidikan agama seharusnya tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat menguasai berbagai kajian keagamaan, tetapi lebih menekankan bagaimana ia mampu menguasai kajian tersebut sekaligus dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, pendidikan agama tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek afektif dan psikomotor. Pola pembinaan pendidikan agama harus dikembangkan dengan menekankan keterpaduan antara tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pendidikan agama tidak akan berhasil selama ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. C. Thomas Phillip berpandangan bahwa keluarga hendaklah kembali menjadi school of loves,sekolah untuk kasih sayang. Azyumardi menambahkan bahwa dalam perspektif Islam, keluarga disebut sebagai madrasah mawwadah warrahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.

Lingkungan kedua adalah sekolah. Sekolah pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat transfer ilmu pengetahuan belaka, melainkan lembaga yang mengusahakan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai. Pembentukan karakter melalui sekolah tidak bisa dilakukan semta-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi melalui penanaman nilai-nilai. Secara umum nilai biasanya mencakup dua bidang pokok yakni estetika dan etika. Estetika mengacu kepada hal-hal yang dipandang manusia sebagai “indah” apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada tingkah laku yang pantas berdasarkan standar yang berlaku, baik yang bersumber dari agama maupun adat istiadat. Setidaknya ada tidak pendekatan yang bisa dilakukan dalam usaha pembentukan karakter melalui pendidikan agama di sekolah. ,Pertama, menerapkan pendekatan modelling atau exemplary atau uswah hasanah. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan.

Setiap guru dan tenaga kependidikan lainnya di lingkungan sekolah hendaknya mampu menjadi uswah hasanah yang hidup bagi setiap peserta didik. Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasi kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah memberi penghargaan, menumbuhsuburkan nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah berlakunya nilai-nilai yang buruk. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai, melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan, membiasakan bertindak dan bersikap atas niat dan prasangka baik dan tujuan-tujuan ideal. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan akhlakul karimah.

Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan nilai-nilai akhlakul karimah kedalam setiap mata pelajaran yang ada di sekolah di samping mata pelajaran agama. Terhadap mata pelajaran-mata pelajaran lain pun sebaiknya dilakukan reorientasi baik dari segi isi, muatan maupun pendekatannya, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan karakter. Lingkungan ketiga adalah masyarakat luas. Lingkungan ini memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai yang baik. Dalam konteks itu, Alquran dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama dan solidaritas yang sama. Di sisnilah menurut Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma’ruf dan nahyi munkar serta ajaran tentang fardu kifayah, yaitu tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk. Kekuatan akhlak dan moral yang tercermin pada perilaku yang baik dan benar merupakan inti utama ajaran Islam. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Dengan akhlak dan moral yang baik, segala potensi yang dimiliki manusia, seperti ilmu pengetahuan, kekayaan, jabatan dan potensi-potensi lainnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama( QS. An-Nahl :97). Sebaliknya, dengan akhlak dan moral yang buruk, segala potensi tersebut akan sia-sia, bahkan cenderung merusak. ( QS.Thaaha: 124-126). Menurut Husni Rahim akhlak merupakan fungsionalisasi agama. Maksudnya keberagamaan seseorang menjadi tidak berarti bila tidak dibuktikan dengan berakhlak yang baik. Orang mungkin banyak melakukan shalat, puasa, membaca Alquran dan berdoa, tetapi bila perilakunya ternyata masih merugikan orang lain, tidak jujur, korupsi dan lain-lain pekerjaan tercela, maka keberagamaannya menjadi tidak benar dan sia-sia.

Pemberian pelajaran akhlak di sekolah mestinya tidak hanya sekedar menyuruh menghapal nilai-nilai normatif akhlak secara kognitif, yang diberikan dalam bentuk ceramah dan diakhiri dengan ulangan. Akhlak harus diajarkan sebagai perangkat sistem yang satu sama lain saling terkait dan mendukung. Mulai dari kepala sekolah, guru agama, guru mata pelajaran lain, kurikulum, metode, bahan dan sarana, orang tua, tokoh masyarakat dan pimpinan formal, semua harus bahu membahu dan bersinergi dalam menanamkan dan membiasakan akhlak yang baik. Guru agama adalah motor penggerak pendidikan agama, karena itu ia adalah pribadi yang harus berakhlak yang dicerminkan dengan disiplin tinggi, berwibawa, cerdas, gemar belajar, menguasai metode dan memiliki kepemimpinan serta mampu menjadi uswah hasanah bagi peserta didik dan lingkungannya. Akhlak tidak akan tumbuh tanpa diajarkan dan dibiasakan.

Oleh karena itu ajaran agama, selain sebagai ilmu, secara bertahap juga harus diikuti secara terus menerus bentuk pengamalannya, baik di sekolah maupun di luar sekolah dan di lingkungan rumah. Pengajaran agama di sekolah karena terbatas waktunya, harus difokuskan kepada penguasaan dasar-dasar agama yang berbentuk ibadah seperti wudlu, shalat, zakat, puasa dan haji kemudian dari ibadah-ibadah tadi diaplikasikan akhlakul karimahnya dalam kehidupan sehari-hari. Keberhasilan pendidikan agama tidak hanya menjadi tanggung jawab guru agama saja, melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak. Oleh karena itu menjadi tugas pemerintah, orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, keluarga dan masyarakat, agar anak-anak bangsa yang bermoral dan berakhlak yang baik bisa terwujud sebagai modal utama pembangunan bangsa. Wallahu a’lam.

PENULIS : TOTO WARSITO,S.Ag.M.Ag
Guru PAI SMAN1 Rajagaluh Ketua Assosiasi Guru Penulis Kab.Majalengka
Sekretaris MGMP PAI SMA Propinsi Jawa Barat.
No. Rekening Bank Mandiri 134-00-0475936-0

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)