Menurut Amin Syukur, ada aliran dalam tasawuf pertama aliran tasawuf sunni yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur'an dan al hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqat 9tingkat rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Kedua aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya dikatakan tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan tasawuf.
A. HASAN AL-BASHRI
1. Riwayat Hidup
Nama lengkap Hasan Al-Bashri adalah Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar. Ia seorang yang masyur dikalangan tabi’in. ia lahir di Madinah pada tahun 21 H/632 M dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H/728 M.
Ajaran-ajarannya tentang kerohanian didasarkan pada Sunnah Nabi. Para sahabat Nabi pun mengakui kebesaran-kebesaran Hasan Al-Bashri
Karir pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai di Hijaz, kemudian ia pindah ke Bashrah dan memperoleh puncak keilmuan di sana.
2. Ajaran-Ajaran tasawufnya
Ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan bahwa ajaran tasawuf Hasan yaitu:
a. “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentram tapi yang menimbulkan rasa takut.”
b. “Dunia adalah negeri tempat beramal”
c. “Tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi.”
d. “Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya”.
e. “Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut”
f. “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya”
g. “Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal shaleh”
Sikap tasawuf Hasan Al-Bashri senada dengan sabda Nabi yang berbunyi:
“Orang yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana yang orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.
B. AL-MUHASIBI: PANDANGAN TASAWUFNYA
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (W. 243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala Al-Muhasibi mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat Islam, ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan memotivasi keduniaan.
1. Pandangan Al-Muhasibi tentang Ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku tentangnya, namun dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasan-alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasan-batasan agama, dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hadits Nabi yang berbunyi: “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan mencoba memikirkan dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya.” Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.12) Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:
a. Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya,
c. Allah menyingkirkan khazanah-khazanah dan keajaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas
d. Sufi mengatakan dengan fana’ yang menyababkan baqa’
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Pangkal wara’ menurutnya, ada ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah instrosfeksi diri (musabat Al-nafs); pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’; pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman; pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan. 15)
Khauf dan raja’; menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah haji dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi mengatakan bahwa Al-Qur'an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-Qur'an pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Qur'an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka. Ia kemudian mengutip ayat-ayat berikut:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (surga) dan dimata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)
(QS Adz-Dzariyyat, ayat 15-18).
Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan alam saleh. Seseorang yang telah melakukan amal saleh, berhak mengharap pahala dari Allah.
C. AL-QUSYAIRI
1. Riwayat Hidup Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah “Abdul Karim bin Hawazin”, lahir tahun 376 di Istiwa. Al-Qusyairi merupakan tokoh sufi utama dari abad ke lima hijriyah. Di kawasan Nishafur di sinilah ia bertemu dengan gurunya Abu Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal. Kemudian Al-Qusyairi mempelajari ilmu fiqih pada seorang faqih, Abu bakr Muhammad bin Abu bakr ath-thusi (wafat tahun 405) dan beliau mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih pada Abu Bakr bin farauk (wafat tahun 406 H). Dan beliau pun menjadi murid Abu ishaq Al-isfarayini (wafat tahun 418 H) dari situlah Al-Qusyairi menguasai doktrin Ahlussunah wal jamaah yang dikembangkan Al-Asari dan muridnya. Al-Qusyairi pembela paling tangguh dari aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran mu’tazilah, karamiyah, mujassamah, dan syi’ah. Karena tindakannya itu ia mendapat serangan keras dan di penjarakan sebulan lebih atas perintah Tughrul Bek yang terhasut oleh seorang menterinya yang menganut aliran mu’tazilah rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu bermula tahun 445 H diuraikan dalam karyanya “Syikayah Ahl As –sunnah”. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H
2. Ajaran-Ajaran tasawuf Al-Qusyairi
Akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin akhlu sunnah sebagai pernyataannya:
“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar. Sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan, selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunah yang tak tertandingi dan tak mengenal macet, merekapun tahu hak yang lama dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dan ketidakadaannya. Al-Junaidi mengatakan bahwa tauhid pemisal hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin merekapun didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gambling. Abu Muhammad Al-Jariri mengatakan bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya kakinya tergelincir ke dalam jurang kehancuran”.
Bahkan dengan konotasi lain Al-Qusyairi secara terang-terangan mengkritik mereka
“Mereka mengatakan bahwa mereka telah bebas dari perbudakan berbagai belenggu dan berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan dengan Tuhan (wushul) lebih jauh lagi mereka tegak bersama yang Maha Besar, yang hukum-hukumnya berlaku atas diri sendiri, sedang mereka dalam keadaan fana. Allah pun menurut mereka tidak mencela dan melarang apa yang mereka nyatakan ataupun yang mereka lakukan. Dan kepadaku mereka disingkapkan rahasia ke-Esaan dan setelah fana merekapun tetap memperoleh cahaya Ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu”
Selain itu Al-Qusyairi menekankan bahwa kesehatan bathin dengan berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As sunnah sebagai mana perkataannya:
“Duhai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada sufi sejamannya) sebab ketika reutas itu tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian….. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun sikap menjauhkan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri dan setiap bathin yang bertentangan dengan lahir adalah keliru dan bukannya yang bathin,…… dan setiap tauhid yang dibenarkan Al-Qur'an maupun as-sunnah adalah pengingkaran terhadap Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah yang tidak dibarengi kerendahan maupun ketulusan jiwa adalah palsu dan bukan pengenalan terhadap Allah.”
Dalam hal yang berbeda, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad ke lima hijriyah dengan ungkapan yang pedas.
“Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Tiada bekas mereka yang tinggal di kelompok tersebut kecuali bekas-bekas mereka kemah dan hanya serupa kemah mereka, kaum wanitanya itu, kulihat bukan mereka.
“Zaman telah berakhir bagi jalan ini, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakikat realitas. Telah lewat para guru yang menjadi panutan mereka, tidak banyak lagi generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kini kerendahatian dan punahlah kesederhanaan hidup. Ketamakan semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah sudah kehormatan agama dari kalbu. Betapa sedikit orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang yang menolak membedakan masalah halal haram. Mereka cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap remeh pelaksanaan ibadah, melecehkan puasa dan sholat, dan terbuai dalam medan kemabukan dan jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli melakukan hal-hal yang dilarang.”
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawuf menurut Al-Qusyairi dapat dilakukan dengan merujuk pada doktrin ahlu sunnah wal jama’ah yaitu dengan mengikuti para sufi sunni abad ke 3 dan ke 4 hijriyah.
D. Al-Ghazali
1. Biografi Singkat Al-Ghazali
Nama lengkap adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ta’us Ath-thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena ia lahir di Ghazalah suatu kota di Kurasan, Iran, tahun 450 H/1058 M, ayahnya seorang pemintal kain wol miskin yang taat, pada saat ayahnya menjelang wafat Al Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad dititipkan kepada seorang sufi. Setelah lama tinggal bersama sufi itu, Al-Ghazali dan adiknya disarankan untuk belajar pada pengelola sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka, di sana ia mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani, kemudian ia memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah dan berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini) hingga menguasi ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, tak hanya itu ia pun mengisi waktu belajarnya dengan belajar teori-teori tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj Imam Haramani menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan Bahr Mu’riq (lautan yang menghanyutkan) kemahirannya dalam menguasi ilmu didapatnya, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu serta mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Setelah Imam Haramani Wafat (478 H/1068 M) Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (wafat 485 H/1091 M). Pada tahun 483 H/1090 M ia diangkat oleh Nizam Al-Muluk menjadi guru besar di Universitas. Selama di Baghdad Al-Ghazali menderita keguncangan batin sebagai akibat sikap keragu-raguan akan pencarian kebenaran yang hakiki, kemudian ia pun memutuskan untuk melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina dan kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran yang hakiki yang selama ini dicarinya, setelah ia memperolehnya maka tidak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 M/14 Jumadil Akhir tahun 505H.
Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis menurut Sulaiman Dunya, karangan Al-Ghazali mencapai 300 buah, ia mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Nasisabur dan ia mempergunakan waktu 30 tahun untuk mengarang yang meliputi beberapa bidang ilmu pengetahuan antara lain, filsafat, ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf dan akhlaq.
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah) di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri
Kenikmatan qolb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Kelezatan dan kenikmatan dunia tergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan tergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati, hal ini karena \ qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.