MAKALAH AGAMA ISLAM TENTANG I'JAZ AL-QUR'AN

Anakciremai
By -
4
Created : Abd. Rohim
School : Pasca STAIN Cirebon
Editor : anakciremai.blogspot.com

MUQODIMAH

Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan bahasan tentang salah satu cabang pokok bahasan Ulumul Qur'an di antara cabang pokok bahasan Ulumul Qur'an adalah sebagai berikut:
Ilmu Adab Tilawat Al-Qur'an, Ilmu tajwid, Ilmu Muwathim An Nuzul, Ilmu Towarih An Nuzul, Ilmu Ashab An Nuzul, Ilmu Qiroat, Ilmu Ghaib Al-Qur'an, Ilmu I’rab Al-Qur'an, Ilmu Wiyahwa An Nazhair, Ilmu Ma’rifat Al Muhkam Wa Al-Mutasyabih, Ilmu Nasik wa Al Mansuk, ilmu Badai’u Al-Qur'an, ilmu Ijaz Al-Qur'an, Ilmu Tawasub Ayat Al-Qur'an, Ilmu Aqsam Al-Qur'an, Amtsal Al-Qur'an, Ilmu Jadal Al-Qur’an.
Dari kesekian ilmu-ilmu Al-Qur'an penulis akan mencoba mengemukakan bahasan tentang I’jaz Al-Qur'an

A.Pengertian I’jaz Al-Qur'an
Kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Ini sejalan dengan firman Allah SWT yang berbunyi.
أَعْجَزَتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هَذَاالْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِيْ (المائدة: 31)
Artinya:
“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)

Lebih jauh Al-Qaththan mendefinisikan I’jaz dengan:
إِظْهَارُ صِدْقِ النَّبِيِِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِىدَعْوَى الرِّسَالَةِ بِاظهَارِ عَجْزِ الْعَرَبِ عَنْ مُعَجِزَتِهِ اْلخَالِدَةِ وَهِيَ اْلقُرْانُ وَعَجْرِ اْلأَجْيَالِ بَعْدَهُمْ.
Artinya:
“Memperlihatkan kebenaran Nabi SAW. atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur'an.”

Pelakunya (yang melemahkan) dinamai
mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mujizat. Tambahan ta’ marbhuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalighah (superlatif).
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Atau Manna’ Al-Qhathan mendefinisikannya demikian:
أَمْرُ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّيْ سَالِمٌ عَنِ اْلمُعَارَضَةِ.
Artinya:
“Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.”

Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah:
1.Hal atau peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
2.Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash. Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatannya. Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi).
Bertitik tolak dari kayakinan umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi terakhir, maka jelaslah bahwa tidak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggalannya. Namun, ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.
3.Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian
Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj
4.Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.

B.Dasar Dan Urgensi Pembahasan I’jaz Al-Qur'an
1.Dasar Pembahasan I’jaz Al-Qur'an
Di antara faktor yang mendasari urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an adalah kenyataan bahwa persoalan ini merupakan salah satu di antara cabang-cabang pokok bahasan ulumul Al-Qur'an (ilmu tafsir).
2.Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an
Urgensi pembahasan I’jaz Al-Qur'an dapat dilihat dari dua tataran:
1.Tataran Teologis
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin menambah keimanan seseorang muslim. Bahkan, tidak jarang pula orang masuk Islam tatkala sudah mengetahui I’jaz Al-Qur'an. Terutama ketika isyarat-isyarat ilmiah, yang merupakan salah satu aspek I’jaz Al-Qur'an, sudah dapat dibuktikan.
2.Tataran Akademis
Mempelajari I’jaz Al-Qur'an akan semakin memperkaya khazanah keilmuan keislaman, khususnya berkaitan dengan ulum Al-Qur'an (ilmu tafsir)

C.Bukti Historis Kegagalan Menandingi Al-Qur'an
Al-Qur'an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menantang orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak mempercayai kebenaran Al-Qur'an sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka, sungguhpun memiliki tingkat fashahah dan balaghah yang tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi memintanya untuk menandingi Al-Qur'an dalam tiga tahapan:
1.Mendatangkan semisal Al-Qur'an secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Isra (17) ayat 88:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلاَيَأْتَوْنَ بِمِثْلِه وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا (الإسراء: 88)
Artinya:
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian lain.” (Al-Isra (17): 88)

2.Mendatangkan satu surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur'an, sebagaimana dijelaskan oleh surat Al-Baqarah (2) ayat 23:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّا نَزَلْنَاعَلَى عَبْدِ نَا فَأْتُوْابِسُوْرَةٍ مِّنْ مِثْلِه وَادْ عُوْا شُهَدَاءَ كُمْ مِنْ دُوْنِ اللهِ إِنْ كُنْتُمْ صدِقِيْنَ. (البقرة: 23)
Artinya:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kami orang-orang yang benar” (QS. Al Baqarah (2): 23)

Sejarah telah membuktikan bahwa orang-orang Arab ternyata gagal menandingi Al-Qur'an. Inilah beberapa catatan sejarah yang memperlihatkan kegagalan itu:
1.Pemimpin Quraisy pernah mengutus Abu Al-Walid, seorang sastrawan ulung yang tiada bandingannya untuk membuat sesuatu yang mirip dengan Al-Qur'an ketika Abu Al-Walid berhadapan dengan Rasulullah SAW. Yang membaca surat Fushilat, ia tercengang mendengar kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-Qur'an dan ia pun kembali pada kaumnya dengan tangan hampa.
2.Musailamah bin Habib Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi juga pernah berusaha mengubah sesuatu yang mirip dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Ia mengaku bahwa dirinyapun mempunyai Al-Qur'an yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh Malaikat yang bernama Rahman. Di antara gubahan-gubahannya yang dimaksudkan untuk mendandingi Al-Qur'an itu adalah antara lain:
يَاضِفْدَعُ بِنْتُ ضِفْدَعَيْنِ نَقِّيْ مَاتُنَقِيْنَ أَعْلاَكِ فِى اْلمَاءِ وَأَسْفَلُكِ فِى الطِّيْنِ.
Artinya:
“Hai katak, anak dari dua katak. Bersihkan apa saja yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah”.

Ketika itu pula, ia merobek-robek apa saja yang telah ia kumpulkan dan merasa malu tampil di depan khalayak ramai. Setelah peristiwa itu ia mengucapkan kata-katanya yang masyhur:
هذَاوَاللهِ مَايَسْتَطِيْعُ اْلبَشَرُ أَنْ يَأْتُوْا بِمِثْلِهِ
Artinya:
“Demi Allah, siapapun yang tidak akan mampu mendatangkan yang sama dengan Al-Qur'an.”

D.Mukjizat Al-Qur'an Berupa Gaya Bahasa
Susunan gaya bahasa Al-Qur'an tidak sama dengan gaya bahasa karya manusia yang dikenal masyarakat Arab saat itu. Al-Qur'an tidaklah berbentuk syair, tidak pula berbentuk puisi. Sehubungan dengan itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ciri-ciri gaya bahasa Al-Qur'an dapat dilihat pada tiga point:
1.Susunan Kata dan Kalimat Al-Qur'an
Poin ini menyangkut:
a.Nada dan langgamnya yang unik
Ayat-ayat Al-Qur'an walaupun sebagaimana telah ditegaskan Allah bukan syair atau puisi, tetapi terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Hal itu diakui pula oleh cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickhall, dalam The Meaning of Glorious Qur'an. Pickhall berkata, “Al-Qur'an mempunyai simfoni yang tiada taranya sehingga nada-nadanya dapat menggerakan manusia untuk menangis dan bersuka cita.” Hal ini karena huruf dari kata-kata dalam Al-Qur'an melahirkan keserasian bunyi dan kumpulan kata-kata itu melahirkan keserasian irama. Bacalah misalnya, Surat An-Nazilat (79): 1-4
وَالنَّزِعتِ غَرْقًا. وَالنّشِطتِ نَشْطًا. وَالسّبِحتِ سَبْحًا. فَالسّبِقتِ سَبْقًا.(النازعات: 1-4)

b.Singkat dan padat
Contohnya simaklah surat Al-Baqarah (2) ayat 212
......... وَاللهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَآء بِغَيْرِ حِسَابٍ. (البقرة: 212)

Ayat ini dapat berarti:
1.Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki tanpa ada yang berhak mempertanyakan mengapa Dia memperluas rezeki seseorang dan mempersempit yang lain.
2.Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa memperhitungkan pemberian itu (karena Dia Maha Kaya, sama dengan seorang yang tidak memperdulikan pengeluarannya)
3.Allah memberikan rizki kepada seseorang yang tidak menduga rezeki tersebut
4.Allah memberikan rezeki kepada seseorang tanpa menghitung terlebih dahulu secara detil amal-amal orang itu.
5.Allah memberikan rezeki kepada seseorang dalam jumlah yang amat banyak sehingga yang bersangkutan tidak mampu menghitungnya.
c.Memuaskan Para Pemikir dan Orang Awam
Seorang awam akan merasa puas karena memahami ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan keterbatasannya. Akan tetapi, ayat yang sama dapat dipahami dengan luas oleh filosof alam pengertian baru yang tidak terjangkau oleh orang awam.
d.Memuaskan Akal dan Jiwa
Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa atau akal dan kalbu. Daya pikirnya memberikan argumentasi-argumentasi guna mendukung pandangannya, sedangkan daya kalbu mengantarkannya untuk mengekspresikan keindahan ayat-ayat Al-Qur'an dan mengembangkan imajinasinya. Dalam berbahasa, kedua daya tersebut sukar dipadamkan pada saat yang sama. Namun, Al-Qur'an mampu menggabungkan keduanya pada saat yang bersamaan.
e.Keindahan dan Ketepatan Maknanya
Sebagai contoh, pada surat Az-Zumar (39) terdapat uraian tentang orang-orang kafir dan mukmin yang diantar oleh para Malaikat ke neraka dan surga. Bacalah ayat-ayat berikut:
وَسَيْقَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا اِلى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى اِذَاجَاءُوْهَا فُتِحَتْ أَبْوبُهَاوَقَلَ لَهُمْ خَزَنَتُهَاأَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكٌمْ يَتْلُوْنَ عَلَيْكٌمْ ايتِ رَبِّكُمْ .... (الزمر: 71)

Artinya:
“Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahanam berombong-rombong. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya, “Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-Rasul di antaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhan…”

E.Perbedaan Pendapat Tentang Aspek-Aspek Kemukjizatan Al-Qur'an
Pada ulama telah berbeda pendapat ketika menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur'an. Perbedaan pendapat ini dapat dilihat pada uraian berikut:
1.Menurut Golongan Sharfah
Hingga menjelang abad 3 H., term I’jaz masih dipahami oleh para ulama sebagai keunikan Al-Qur'an yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Namun berkat pengaruh Al-Jahiz, seorang tokoh Mu’tazilah, term itu lebih dispesifikasikan pada gaya retorika Al-Qur’an. pada perkembangan selanjutnya, seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, yakni Abu Ishaq An Nazhzham (w. 231 H.), dan tokoh Syi’ah, yakni Al-Murtadha, berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur'an itu disebabkan karena adanya sharfah (pemalingan), yakni Allah sebagaimana didefinisikan An-Nazhzham telah memalingkan manusia untuk menantang Al-Qur'an dengan cara menciptakan kelemahan padanya sehingga tidak dapat mendatangkan sesuatu yang sama dengan Al-Qur'an. Seandainya Allah tidak memalingkan manusia, demikian kata An-Nazhzham, niscaya manusia mampu menandingi Al-Qur'an. Adapun Al-Murtadha menjelaskan bahwa Allah telah mencabut ilmu yang dibutuhkan dalam bertanding.
Pandangan seperti ini mendapat dukungan pula dari tokoh Mu’tazilah lainnya, seperti Hisyam Al-Fuwatiti (w. 218 H) Abbad bin Ibn Hazm Al-Andalusi (dari golongan Azh-Zhahiri). Ibnu Hazm lebih jauh berpendapat bahwa ketika berfirman, Allah memberikan daya yang melemahkan manusia untuk menandingi Al-Qur'an. Sementara itu, Ali bin Isa Ar-Rummani melihat lebih jauh lagi, yakni bahwa Allah telah mengalihkan perhatian umat manusia sehingga mereka tidak mempunyai keinginan untuk menyusun suatu karya untuk menandingi Al-Qur'an. Membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap kitab suci ini merupakan suatu yang luar biasa.
Pendapat tokoh-tokoh besar Mu’tazilah itu tidak terlepas dari penghargaan mereka terhadap kemampuan akal manusia. Akan tetapi, pendapat mereka kemudian dikritik oleh para ulama di luar Mu’tazilah, dan juga sebagian ulama Mu’tazilah sendiri yang melihat kemukjizatan Al-Qur'an dari sudut ajarannya, ilustrasi, dan kebahasaannya.
Pada ulama membantah paham sharfah tersebut, mereka menjelaskan bahwa paham itu telah menuduh Tuhan menantang seseorang untuk berbicara, tetapi Dia memotong atau melemahkan lidah orang itu terlebih dahulu. Padahal jika dirunut dari latar belakang teks-teks tentang tahaddi (tatanan) Al-Qur'an, jelaslah bahwa kaum kafir Quraisy pada waktu saat itu merasa mampu mendatangkan kitab serupa Al-Qur'an meskipun kenyataannya mereka tidak berdaya atau tidak berhasil. Pandangan sharfah ini, kata mereka, mengimplikasikan pandangan bahwa sebenarnya kemukjizatan Al-Qur'an bukan karena esensi (dzat)-nya, tetapi karena ada faktor lain, yakni pemalingan potensi manusia oleh Tuhan. Dengan kata lain, paham ini menjelaskan bahwa Al-Qur'an bukan mu’jiz bi dzatihi tetapi mu’jiz bi ghairihi.
Secara rinci Az-Zakarsyi mengemukakan kelemahan argumentasi An-Nazhzham dan Ar-Rummani sebagai berikut:
a.Firman Allah pada surat Al-Isra (17) ayat 88 memperlihatkan kelemahan bangsa Arab menyusun karya besar yang sejajar dengan Al-Qur'an. Dan kalau Allah yang melarang mereka, maka mu’jiz (kelemahan) itu bukan Al-Qur'an, tetapi justru Allah sendiri. Padahal ayat yang menantang mereka menyusun karya yang sejajar dengan Al-Qur'an, bukan untuk menandingi kebesaran Tuhan.
b.Masyarakat Arab pada saat itu mungkin saja mampu membuat karya spesifik yang pembahasannya sama dengan Al-Qur'an, tetapi mereka mengalami kesukaran untuk menandingi isi dan ilustrasinya
c.Al-Qur'an mengemukakan hal-hal gaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang dalam kehidupan ini, di samping berita-berita alam akhirat yang akan dialami manusia kelak. Segala yang dikemukakan Al-Qur'an tersebut kemudian terbukti dalam perjalanan hidup manusia ini. Misalnya, Allah memberikan dalam surat An-Nur (24) ayat 55 bahwa umat Islam akan menjadi adikuasa di dunia ini. Hal itu benar-benar telah terjadi ketika dinasti Abbasiyah berada dalam masa kejayaannya dan ketika muncul tiga kerajaan besar, yaitu Mughal di India, Safawi di Persia, dan Turki Usmani di Turki antara abad 15-17 M. Al-Qur'an juga memberitahukan pada surat Ar-Rum (30) ayat 1-2 bahwa Kerajaan Romawi Timur akan hancur. Ini terbukti pada abad ke 14 M., Pasca Abbasiyah, pada masa kekuasaan Turki Utsmani
d.Al-Qur'an mengemukakan kisah-kisah lama yang tidak terangkat dalam cerita-cerita Arab, seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Luth, dan Nabi Harun, serta kisah Nabi lain dan perlawanan masyarakatnya terhadap dakwah mereka dan akibat-akibat perlawanan tersebut.
Beberapa karakter inilah yang memperkuat alasan bahwa kemukjizatan Al-Qur'an bukan terletak pada kekuasaan Allah, tetapi justru Al-Qur'an sendiri yang memiliki kekuatan yang sedemikian rupa sehingga masyarakat Arab tidak mampu menciptakan karya yang setara. Oleh sebab itu, pernyataan, orang-orang Mu’tazilah yang menyetarakan Al-Qur'an dengan buku Ad-Dirar dan At-Talamiyah karya ibnu Al-Muqaffa adalah pernyataan yang sangat keliru dan sesat. Kedua karya tersebut, menurut Al-Baqilani, amat jauh dibandingkan dengan Al-Qur'an dari segi isi, ilustrasi dan pembahasannya.

2.Menurut Imam Fakhruddin
Aspek kemukjizatan Al-Qur'an terletak kepada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala bentuk cacat. Sementara itu, menurut Az-Zamlakani, aspek kemukjizatan terletak pada penyusunan yang spesifik.

3.Menurut ibnu Athiyyah
Aspek kemukjizatan Al-Qur'an yang benar dan yang dianut oleh mayoritas ulama diantaranya Al-Haddad- terletak pada runtutannya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-katanya yang fasih. Hal tersebut karena Al-Qur'an merupakan firman Allah Dzat Yang Maha Mengetahui. Al-Qur'an sungguh diliputi oleh pengetahuan-Nya. Bila urutan-urutan ayatnya dicermati, tampaklah keserasian antara satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang mengiringinya. Begitulah yang terdapat pada Al-Qur'an, mulai dari pembuka sampai penutupnya. Manusia diliputi oleh kebodohan dan kealpaan sehingga tidak mungkin dapat melakukan hal yang menyerupai Al-Qur'an.

4.Menurut Sebagian Ulama
Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan Al-Qur'an terkandung dalam Al-Qur'an itu sendiri, yaitu susunan yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun bentuk prosanya, baik dalam permulaan, suku kalimatnya maupun dalam pengutuasinya

5.Menurut Sebagian Ulama Lagi
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan itu terkandung dalam kata-katanya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang indah. Nilai sastra yang terkandung dalam Al-Qur'an itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.

6.Menurut Ash-Sahabuni
Ash-Shabuni mengemukakan segi-segi kemukjizatan Al-Qur'an seperti sebagai berikut:
a.Susunannya yang indah dan berbeda dengan karya-karya yang ada dalam bahasa orang-orang Arab
b.Adanya uslub (style) yang berbeda dengan uslub-uslub bahasa Arab
c.Sifat keagungannya yang tak memungkinkan seseorang untuk mendatangkan yang serupa dengannya
d.Bentuk undang-undang di dalamnya sangat rinci dan sempurna melebihi undang-undang buatan manusia.
e.Mengabarkan hal-hal gaib yang tidak dapat diketahui, kecuali melalui wahyu
f.Uraiannya tidak bertentangan dengan pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya
g.Janji dan ancaman yang dikabarkan benar-benar terjadi
h.Memenuhi segala kebutuhan manusia
i.Berpengaruh bagi hati pengikutnya dan orang-orang yang memusuhinya

7.Menurut Quraish Shihab
Quraish Shihab memandang segi-segi kemukjizatan Al-Qur'an dalam tiga aspek, yaitu:
a.Aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya
Dalam Al-Qur'an dijumpai sekian banyak contoh tentang keseimbangan yang serasi antara kata-kata yang digunakan yaitu:
1.Keseimbangan antara jumlah kata dan anonimnya
2.Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya
3.Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah yang menunjukan akibatnya
4.Di samping keseimbangan tersebut, juga keseimbangan khusus lainnya
b.Berita tentang hal-hal yang gaib
Sebagaimana ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur'an itu adalah berita gaib. Salah satu contohnya adalah Fir’aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa. Hal ini, diceritakan dalam surat Yunus (10) ayat 92:
فَاْليَوْمَ نُنْجِيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلْفَكَ أَيَةً وَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ أيتِنَالَغفِلُوْنَ.
Artinya
“Maka pada hari Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”






KESIMPULAN

Dari makalah dapat di ambil kesimpulan bahwa Al-Qur'an ini adalah Mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa oleh Nabi.
Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap mukjizat bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak, oleh karena itu tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya itulah sebabnya jenis mukjizat yang diberikan kepada para Nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut.
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aceh Abu Bakar. Sejarah Al-Qur'an. Ramadhani, Solo.1989
Ash Shiddiqy TM Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an, Bulan Bintang Jakarta. 1994
Baldan nasrudin. Metodologi Penafsiran Al-Qur'an. Pustaka pelajar, Yogyakarta. 1998
Ismail Muhammad Bokar. Dirosat fi Ulum Al-Qur'an, Dar Al-Manar, Kairo 1991
Marjuki Kamaludin, Ulum Al-Qur'an. Rosda Karya, Bandung. 1992
Munawar Said Agil Husain. Al-I’jaz Al-Qur'an Dan Metodologi Tafsir.
Rafiqi Mustofa Shadiq. Al-I’jaz Al-Qur'an. Dar Al-Kitab. Al-Arabi, Beriut. 1990.
Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir. Pustaka Setia, Bandung. 2000
Drs. Rosihan Anwar, M.Ag, Ulumul Qur'an. Pustaka Setia, Bandung. 2000

Posting Komentar

4Komentar

Posting Komentar